Meninjau Paradoks Mesin Waktu

Diffa' Shada
3 min readSep 17, 2023

--

Narasi ini dibangun berdasarkan pemikiran “liar” akan keberadaan kita dan dunia ini dalam perspektif yang lebih luas.

Ketika manusia mulai berpikir, kecenderungan untuk mempertahankan eksistensi dirinya akan semakin baik. Berkenaan dengan hal itu, manusia mengalami perkembangan diri dan mencetuskan peradaban yang semakin maju. Beberapa membangun inovasi, menciptakan kreativitas dan idealisme untuk mencapai suatu tujuan tertentu.

Kelahiran sebuah peradaban yang terukur dan sistematis, tentu akan menjadi sebuah tolak ukur akan pencapaian sebuah negara atau kelompok tertentu. Mereka berupaya sebisa mungkin menjaga eksistensi akan sebuah hirarki peradaban. Disinilah eksistensi akan keberadaan suatu kelompok muncul. Hal ini kemudian memicu logika sederhana bahwa untuk menjamin eksistensi kelompok tertentu, maka kita harus menguasai atau setidaknya berada dalam garis batas pertahanan bagi kelompok lain untuk meminimalisasi resiko-resiko yang akan dihadapi di kemudian hari.

Kemudian muncullah segolongan kelompok yang lebih besar dan lebih besar lagi untuk mempertahankan eksistensi yang semakin besar lagi. Di titik inilah akhirnya terjadi sebuah batas dimana titik dominasi akan tercapai. Para ilmuwan fisika lazim menyebutnya dengan titik singularitas. Yaitu, saat dimana titik jenuh dari sebuah entitas mengalami kondisi ambang batas dan berhenti.

Singularitas dari titik pusat massa black hole.

Logika ini kemudian menuntun kepada opsi, “Bisakah kita mengulang kembali masa kejayaan kita dan memperbesar kemungkinan yang kita bangun dari awal” atau “Bisakah kita mengulang tatanan eksistensi kita dari awal sehingga semuanya dapat terpola dengan lebih baik”. Dengan pertanyaan semacam itu, artinya ada harapan untuk membangun sebuah kondisi perulangan, yaitu “kondisi lintas waktu”. Pertanyaan selanjutnya, “Apakah mungkin ?”

Sebuah ilustrasi perjalanan melintasi waktu.

Para ilmuwan mulai berpikir untuk membentuk suatu kondisi dimana waktu menjadi variabel yang akan diamati, sehingga dapat diubah besaran maupun entitasnya. Terciptalah sebuah ide berupa “mesin waktu”. Sesederhana waktu yang semakin lama semakin besar kuantitasnya, alih-alih kita dapat mempercepat atau melambatkannya.
Hal ini kemudian memicu pertanyaan-pertanyaan lanjutan, “Bagaimana mungkin kita dapat memutarbalikkan waktu, seolah itu adalah apel yang kita dapat memindahkannya semau kita?”. Pertentangan demi pertentangan muncul dan menimbulkan keraguan-keraguan baru. Di antaranya adalah sebuah paradoks-paradoks.

Paradoks yang cukup populer dan lebih mudah diterima akal adalah Paradoks Kakek. Yaitu, intervensi sebuah lingkaran garis keturunan. Jika kita pergi ke masa lalu, kemudian kita membunuh kakek kita, lantas kita lahir berasal dari siapa? (Dengan beberapa asumsi, salah satunya adalah bahwa kita membunuh kakek kita saat belum memiliki anak). Paradoks inilah yang juga menjadi spesifikasi dari paradoks yang lebih umum, yaitu Kalau kita pergi ke masa lalu, maka masa lalu akan menjadi masa depan dan masa depan akan menjadi masa lalu. Bagaimana mungkin itu bisa terjadi?

Hal inilah yang membuat kebingungan dan sekaligus mematahkan argumentasi akan harapan membuat ide “mesin waktu”. Beberapa ilmuwan dan para pakar memberi pendekatan solusi ilmiah yaitu, konsep superposisi. Yaitu, konsep yang diamati dalam dunia kuantum. Dimana sebuah atom dapat diamati dalam kondisi saat itu yaitu saat kita mengamatinya. Dan kita belum mengetahui secara pasti kondisinya di saat ia tidak sedang kita amati. Prinsip inilah yang juga melahirkan gagasan Schrödinger Cat.

Pendekatan imajinatif dalam mendekati konsep “superposisi”

Konsep superposisi yang ditawarkan adalah dengan membuat diri kita saat memasuki dimensi waktu sebagai kondisi superposisi. Kita tidak mengintervensi keadaan kita di masa lalu saat kita berada pada masa lalu. Kita berada dalam dua kondisi, yaitu kondisi sekarang (melintasi perjalanan waktu) dan juga kondisi masa lalu (kondisi yang kita tuju). Terdengar cukup logis dan pesimis, karena justru akan membalikkan logika mengenai dimensi waktu. Yang seharusnya kita mengintervensi waktu berada pada tingkat dimensi satu, kita juga sekaligus menambahkan dimensi waktu sebagai objek yang berada pada dimensi lebih tinggi.

Paradoks-paradoks inilah yang memunculkan ekspektasi-ekspektasi aneh dan juga menambahkan beberapa variabel tertentu untuk dikaji lebih lanjut. Akankah eksperimen ini berhasil ataukah malah menjadi sebuah batu loncatan bagi peradaban manusia modern dalam mencapai tujuan dan harapan baru.

Bagaimana?

--

--